A. Prasangka Diskriminasi dan Etnosentrisme
1. Prasangka.
Prasangka sosial (social prejudice)
merupakan gejala psikologi sosial. Prasangla sosial ini merupakan masalah yang
penting dibahas di dalam intergroup relation. Prasangka sosial atau juga
prasangka kelompok yaitu suatu prasangka yang diperlihatkan anggota-anggota
suatu kelompok terhadap kelompok-kelompok lain termasuk di dalamnya para
anggotanya.
Beberapa
ahli meninjau pengertian prasangka sosial dari berbagai sudut :
- Feldman
(1985)
Prasangka sosial adalah sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu yang hanya didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok itu. - Mar’at
(1981)
Prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai positif atau negative tetapi dugaan itu lebih bersifat negative. - Kimball
Young
Prasangka adalah mempunyai ciri khas pertentangan antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya ingroup dan outgroup. - Sherif
and Sherif
Prasangka sosial adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti kepada kelompok lain beserta anggotanya.
Dari
pendapat-pendapat para ahli tersebut mempunyai kecenderungan bahwa prasangka
sosial adalah suatu sikap negatif yang diperlihatkan oleh individu atau
kelompok terhadap individu lain atau kelompok lain.
2. Diskriminasi.
Diskriminasi ialah perlakuan
pembedaan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung terhadap
orang atau kelompok dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur, status
sosial, status ekonomi, bahasa, keyakinan politik, atau karakteritik yang lain.
Penyebab timbulnya Diskriminasi
· Diskriminasi timbul akibat dari latar
belakang sejarah.
· Diskriminasi timbul akibat
Perkembangan sosio-kultural dan situasional.
· Diskriminasi bersumber dari factor
kepribadian.
· Diskriminasi timbul akibat perbedaan
keyakinan, kepercayaan dan agama.
Usaha-usaha
mengurangi/menghilangkan diskriminasi
· Perbaikan kondisi social ekonomi.
· Perluasan kesempatan belajar.
· Sikap terbuka dan sikap lapang.
Contoh
Kasus Diskriminasi
Seorang
anak pengusaha kaya serba di “anak emaskan” di sekolahnya dan serba di
dahulukan ketimbang anak seorang yang biasa biasa saja.
3. Etnosentrisme.
Etnosentrisme
adalah kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya
sendiri sebagai suatu yang prima, yang
terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya
dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme
nampaknya merupakan gelaja sosial yang bersifat universal dan secara tidak
sadar telah kita lakukan. Dengan demikian etosentrisme merupakan kecenderungan
tak sadar untuk menilai atau membandingkan budaya yang satu dan yang lainnya.
Etnosentrisme merupakan bisa dibilang dasar ideologi dari chauvinisme pada saat
era seorang Hittler karena menganggap bangsanya ( Jerman ) merupakan bangsa
yang paling kuat, tangguh dan berkuasa.
Baik sifat
diskriminasi dan etnosentrisme bisa dibilang merupakan bagian dari masalah
masalah sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah persatuan dan
kesatuan bangsa kita.
Etnosentrisme
memiliki 2 tipe :
- Etnosentrisme
Fleksibel
Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. - Etnosentrisme
Infleksibel
Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Contoh Etnosentrisme di Indonesia :
Salah satu
contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat
Madura. Menurut Latief Wiyata, carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara
sepintas, konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk
akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan
kelompok masyarakat lain yang beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan
menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun,
bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan
konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat.
Oleh karena itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara
masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya pemahaman
atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok tersebut dalam masyarakat
Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya
terjadinya perilaku carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak
ditentang oleh para ahli ilmu sosial.
B. Pertentangan Sosial dan Ketegangan Dalam Masyarakat
Konflik
(pertentangan) mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas dari
pada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan
yang kasar atau perang. Dasar konflik berbeda-beda. Terdapat 3 elemen dasar
yang merupakan cirri-ciri dari situasi konflik yaitu :
Terdapatnya
dua atau lebih unit-unit atau baigan-bagianyang terlibat di dalam konflik.
Unit-unit
tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan,
tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap, maupun
gagasan-gagasan.
Terdapatnya
interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
Konflik
merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang
sering dihubungkan dengan kebencian atau permusuhan, konflik dapat terjadi pada
lingkungan diri seseorang, kelompok, dan masyarakat. Adapun cara pemecahan
konflik tersebut :
- Elimination, pengunduran diri dari salah satu pihak yang terlibat konflik.
- Subjugation atau Domination, pihak yang mempunyai kekuasaan terbesar dapat memaksa pihak lain untuk mengalah.
- Majority Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting.
- Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta kesepakatan untuk melakukan kegiatan bersama.
- Compromise, artinya semua sub kelompok yang terlibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
- Integration, artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak
C. Golongan-Golongan Yang Berbeda dan Integrasi Sosial
Masyarakat
Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai
suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kesatuan nasional yang
berwujudkan Negara Indonesia. Masyarakat majemuk dipersatukan oleh sistem
nasional yang mengintegrasikannya melalui jaringan-jaringan pemerintahan,
politik, ekonomi, dan sosial. Aspek-aspek dari kemasyarakatan tersebut, yaitu
Suku Bangsa dan Kebudayaan, Agama, Bahasa, Nasional Indonesia.
Masalah
besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah integrasi diantara
masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian
persatuan. Masyarakat majemuk tetap berada pada kemajemukkannya, mereka dapat
hidup serasi berdampingan (Bhineka Tunggal Ika), berbeda-beda tetapi merupakan
kesatuan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi:
Tuntutan
penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
Isu asli
tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antar warga negara
Indonesia asli dengan keturunan (Tionghoa,arab)
Agama,
sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
Prasangka
yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu.
D. Integrasi Internasional
Teori integrasi internasional
dianalogikan sebagai satu payung yang memayungi berbagai pendekatan dan metode
penerapan –yaitu federalisme, pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme,
dan regionalisme. Meskipun pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita
saat ini, tetapi hal ini rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam
pandangan state-sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi
integrasi memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana ia
berubah dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara.
Integrasi
politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’
penyatuan politik di tingkat global atau regional di antara unit-unit nasional
yang terpisah. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru dalam peradaban manusia,
sedangkan dalam tingkat hubungan internasional ia menjadi ‘kesadaran baru’ dan
‘terminologi baru’ dan menjadi studi politik sistemik utama pada tahun 1950-an
hinggga 60-an [Charles Pentland 1973. International Theory and European Integration.
London: Faber and Faber Ltd.]. Pentland mendefinisikan integrasi politik
internasional sebagai sebuah proses di mana sekelompok masyarakat, yang pada
awalnya diorganisasikan dalam dua atau lebih negara bangsa yang mandiri,
bersama-sama mengangkat sebuah keseluruhan politik yang dalam beberapa
pengertian dapat digambarkan sebagai sebuah ‘community’.
Kesepakatan
yang dibuat atas integrasi ini adalah dalam kerangka penyatuan yang kooperatif
bukan koersif. Ambiguitas yang terjadi dalam pemaknaan ini adalah penggunaan
istilah proses ataukah hasil/end-product. Hal ini dapat diatasi oleh Lion
Lindberg [dalam Political Integration as a Multi dimensional Phenomenon
requiring Multivariate Measurement, Jurnal International Organization edisi
Musim Gugur, 1970] dengan berfikir “integrasi politik adalah proses di mana
bangsa-bangsa tidak lagi berhasrat dan mampu untuk menyelenggarakan kunci
politik domestik dan luar negeri secara mandiri dari yang lain, malahan mencari
keputusan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan kebijakan pada
organ-organ kontrol baru.”
Konsep
integrasi internasional/regional berbeda dengan konsep serupa tentang
internasionalisme/regionalisme, kerjasama internasional/regional, organisasi
internasional/regional, gerakan internasional/regional, sistem
internasional/regional, dll. Integrasi menitikberatkan perhatiannya pada proses
atau relationship, di mana pemerintahan secara kooperatif bertalian bersama
seiring dengan perkembangan homogenitas kebudayaan, sensitivitas tingkah laku,
kebutuhan sosial ekonomi, dan interdependensi yang dibarengi dengan penegakan
institusi supranasional yang multidimensi demi memenuhi kebutuhan bersama.
Hasil akhirnya adalah kesatuan politik dari negara-negara yang terpisah di
tingkat global maupun regional [Tom Travis, Usefulness of Four Theories of
International Relations in Understanding the emerging Order, Jurnal
International Studies 31].
Referensi :
Komentar
Posting Komentar